Surakarta - Saat Ramadan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri, marak pengemis dan gelandangan di beberapa kota di Indonesia, terutama kota besar. Pemerintah daerah setempat kemudian mengambil kebijakan untuk merazia pengemis dan gelandangan.
Apa kata pemerintah pusat? Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufrie mendukung langkah pemerintah daerah yang merazia pengemis dan gelandangan saat Ramadan. “Terutama bagi daerah yang memiliki perda tentang itu (razia pengemis),” katanya kepada wartawan sebelum mengikuti temu wicara dengan para penyandang cacat di Surakarta, Rabu, 10 Agustus 2011 sore.
Walaupun daerah boleh merazia pengemis dan gelandangan, namun dia menegaskan tidak boleh merazia anak-anak jalanan. Dia juga meminta daerah tidak hanya sekadar bisa merazia, tapi melakukan pemberdayaan pengemis. “Saat ini ada lebih dari 200 ribu gelandangan dan pengemis di Indonesia. Perlu kerja sama dari semua pihak untuk memberdayakannya,” lanjutnya.
Menurutnya, menjadi pengemis dan gelandangan mungkin adalah pilihan terakhir bagi mereka sehingga perlu ada pemberdayaan sosial agar tidak lagi menjadi pengemis dan gelandangan. “Daerah tingkatkan anggaran untuk pemberdayaan sosial, perusahaan sisihkan dana melalui program CSR (corporate social responsibillity) dan sebagainya,” begitu Salim berharap.
Menteri Salim berpendapat Ramadan menjadi salah satu titik awal bagi semua pihak agar lebih menaruh empati dan kepekaan terhadap keberadaan pengemis, gelandangan, dan anak jalanan. “Diharapkan saat Ramadan tumbuh rasa kesetiakawanan sosial kepada sesama,” pungkasnya. [ Tempo.co]
Opini : bagus seharusnya gak hanya dibulan Ramadhan saja pengemis di razia tapi di hari - hari biasa pun harus di razia karena yang saya lihat gelandangan / pengemis masih banyak yang masih muda jadi harus diberi pembinaan agar tidak menjadi gelandangan / pengemis
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Sungai dan Pantai Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, Pitoyo Subandrio di acara temu wartawan di Kantor Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, Kamis (18/4/2013).
"Kendalanya orang ngeri menghadapi masalah sosial," kata Pitoyo.
Pitoyo menjelaskan, tidak mudah untuk meyakinkan dan memindahkan warga yang berjumlah sekitar 310.000 jiwa yang terlanjur bermukim sudah lama di bantaran sungai Ciliwung. Diperlukan adanya pendekatan yang sangat mendalam.
"Ada manusia 310.000 jiwa, 71.000 KK ya kita hadapi, bisa kok," jelasnya.
Lebih lanjut Pitoyo menyebut, sejatinya satuan kerja ataupun orang-orang di lapangan yang mengerjakan proyek adalah orang yang memiliki jiwa sosial yang tinggi untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat. "Saya usul nanti Kepala Balai adalah seorang Sosiolog, di bawahnya baru insyinyur," katanya.
Pitoyo pun menyebut ini juga bisa berlaku untuk sebuah proyek jalan tol yang selalu terkendala dengan proses pembebasan lahan.
Opini : jadi seharusnya pemerintah jakarta harus menertibkan bangunan - bangun di pinggir sungai ciliwung agar bisa menormalisasikan keadaan sungai yang kondisinya semakin parah .